Khandha
Posted by The Monk pada September 10, 2010
Terciptanya pikiran:
“1. Kesadaran: Ada kontak menimbulkan kesadaran.
2. Perasaan: Ada kesadaran menimbulkan perasaan.
3. Persepsi: Ada perasaan menimbulkan persepsi.
4. Ide: Ada persepsi menimbulkan ide. Ide-ide ini kembali membentuk kesadaran, karena ketaktahuannya.”
– Chachakka Sutta
Lalu berulanglah lagi satu samsara:
“Dan apakah sebab-musabab yang bergantungan itu?
1. Dari ketaktahuan (avijja) muncullah ide (sankhara).
2. Dari ide (sankhara) muncullah kesadaran (vinnana).
3. Dari kesadaran (vinnana) muncullah batin dan jasmani (nama-rupa). Dari batin dan jasmani (nama-rupa) muncullah enam indera (salayatana). Dari enam indera (salayatana) muncullah kontak (phassa). Dari kontak (phassa) muncullah perasaan (vedana).
4. Dari perasaan (vedana) muncullah keinginan (tanha). Dari keinginan (tanha) muncullah kemelekatan (upadana). Dari kemelekatan (upadana) muncullah proses kelahiran kembali (bhava). Dari proses kelahiran kembali (bhava) sebagai kondisi penyebab maka muncullah kelahiran kembali (jati). Dari kelahiran kembali (jati) sebagai kondisi penyebab maka muncullah kelapukan dan kematian, duka cita, sakit, kesusahan dan keputus-asaan (jaramaranang). Demikianlah penyebab dari seluruh kesusahan dan penderitaan.”
– Paticca-samuppada-vibhanga Sutta
Satipathana yang dilakukan Sidhatta Gotama untuk mencari obat sakit, tua, dan mati adalah Khandha Satipatthana:
“Dalam hal ini seorang bhikku tahu,
Beginilah kesadaran, beginilah munculnya kesadaran, beginilah lenyapnya kesadaran.
Beginilah perasaan, beginilah munculnya perasaan, beginilah lenyapnya perasaan.
Beginilah persepsi, beginilah munculnya persepsi, beginilah lenyapnya persepsi.
Beginilah ide, beginilah munculnya ide, beginilah lenyapnya ide.
Beginilah fisik, beginilah munculnya fisik, beginilah lenyapnya fisik.”
= Maha satipatthana Sutta
Contoh:
Orang yang masih muda ingin merasakan berumahtangga, tapi karena tak berlatih vipassana bhavana ia cuma melihatnya dari satu sisi saja, yaitu sisi yang dipenuhi pandangan keakuan tentang apa yang benar apa yang salah. Seandainya ia memandangnya secara murni tentang apa yang benar apa yang salah maka ia akan melihat bahwa kenikmatan itu cuma sementara sementara umur terus menua dan menyongsong penyakit dan kematian. “hidup itu panjang bagi orang yang tak sadar, pendek bagi orang yang sadar” – Dhammapada.
Dan saat umur terus menua, sakit, dan hendak mati, apalagi yang terbaik yang bisa ia lakukan selain dari berbuat baik agar terlahir lebih tampan, lebih sakti, dan lebih kaya.
Hendaknya ia bersatipathana dan menyadari “beginilah berumahtangga, munculnya saat masih ada pasangan, lenyapnya saat lenyap pasangan. beginilah rasanya berumahtangga, enaknya saat masih berumahtangga, gak enaknya saat tak berumahtangga lagi. beginilah bentuk rumahtangga, bagusnya saat masih muda, gak bagusnya saat sudah tua. beginilah ide ini, munculnya saat terkondisi pandangan salah, lenyapnya saat terkondisi pandangan benar. beginilah rumahtangga, muncul jika terpengaruh pandangan salah, lenyap saat kembali ke jalan yang benar.”
Hal yang sama bisa diterapkan untuk obyek “cinta”. “beginilah cinta, munculnya saat ada rasa, lenyapnya saat lenyap rasa. beginilah rasanya cinta, enaknya saat masih bercinta, gakenaknya saat orangnya mati. Dst… Dst… Dst…” Jadi, cinta memang panjang umurnya, lebih panjang dari kematian. Tapi enaknya cuma sebentar, kalo lawanmain gak ada lagi sudah gak enak. Biasanya lalu mengalihkan perhatian pada filosofi, misal “bertemu karena allah berpisah karena allah” meski tak bisa mengubah kenyataan akan fenomena cinta itu sendiri.
Siddhatta sendiri dulu itu menggunakan obyek “penderitaan” untuk khandha satipatthana. Ia terus memperhatikannya sehingga muncul 7 faktor pencerahan, muncul gangguan-gangguan seperti Mara, muncul ilusi seperti cahaya, hingga akhirnya vipassananya menghasilkan samadhi dan bersatu dengan samatha bhavana lalu ia meneruskannya lagi hingga muncul meditasi demi meditasi hingga tembus Nibbana (level 1o).
Tinggalkan komentar